Jumat, 25 Maret 2016

PENYAKIT POLIO

PENYAKIT POLIO

I.                   PENGERTIAN POLIO

            Poliomyelitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan.Virus Polio termasuk genus enteroviorus, famili Picornavirus. Bentuknya adalah ikosahedral tanpa sampul dengan genome RNA single stranded messenger molecule. Single RNA ini membentuk hampir 30 persen dari virion dan sisanya terdiri dari 4 protein besar (VP1-4) dan satu protein kecil (Vpg).
            Polio adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit peradaban. Polio menular melalui kontak antar manusia. Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi feses. Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Penyebab penyakit polio terdiri atas tiga strain yaitu strain 1 (brunhilde) strain 2 (lanzig), dan strain 3 (Leon). Strain 1 adalah yang paling paralitogenik atau yang paling ganas dan sering kali menyebabkan kejadian luar biasa atau wabah. Strain ini sering ditemukan di Sukabumi. Sedangkan Strain 2 adalah yang paling jinak.
Penyakit Polio terbagi atas tiga jenis yaitu :
  1. Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot terasa lembek jika disentuh.
2.      Polio Paralisis Spinal Jenis Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi pada kaki. Setelah poliovirus menyerang usus, virus ini akan diserap oleh kapiler darah pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh. Poliovirus menyerang saraf tulang belakang dan neuron motor -- yang mengontrol gerak fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Namun, pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang otak. Infeksi ini akan mempengaruhi sistem saraf pusat menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf pusat, virus akan menghancurkan neuron motor. Neuron motor tidak memiliki kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas -- kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat menye-babkan kelumpuhan pada batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia.
3.      Polio Bulbar Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung neuron motor yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai otot yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbgai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima hingga sepuluh persen penderta yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim ''perintah bernapas'' ke paru-paru. Penderita juga dapat meninggal karena kerusakan pada fungsi penelanan; korban dapat ''tenggelam'' dalam sekresinya sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot cairan yang disekresikan sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun trakesotomi juga sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan ''paru-paru besi'' (iron lung). Alat ini membantu paru-paru yang lemah dengan cara menambah dan mengurangi tekanan udara di dalam tabung. Kalau tekanan udara ditambah, paru-paru akan mengempis, kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan demikian udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh lebih parah pada otak dapat menyebabkan koma dan kematian.

II.                PENYEBAB POLIO

Penyakit polio disebabkan oleh tiga jenis polivirus, yakni tipe 1, tipe 2 dan tipe 3. Hingga saat ini vaksin yang diberikan pada anak ditargetkan untuk melawan ketiga jenis virus atau hanya salah satunya. Polivirus tipe 1 adalah yang paling ganas dan seringkali menyebabkan wabah. Sedangkan tipe 2 dan 3 merupakan yang paling jinak.
Polio yang diakibatkan oleh polivirus tipe 2 terakhir kali tercatat ada di India tahun 1999 sehingga kini dibutuhkan vaksin yang mampu melenyapkan dua tipe virus lainnya..
Virus penyebab polio sangat menular dan dapat dengan mudah menyebar dari satu orang ke orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bila seseorang terinfeksi oleh virus polio, transmisi polio kontak antara rumah tangga rentan terjadi di hampir semua anak-anak di rumah dan di lebih dari 90 persen orang dewasa di rumah tangga.
Ketika seseorang terinfeksi oleh virus polio, virus hidup di saluran pencernaan dan lendir di hidung dan tenggorokan. Penyakit ini menular melalui kontak dengan kotoran orang yang terinfeksi. Meskipun jarang terjadi, virus polio ini menyebar melalui kontak dengan cairan saluran pernapasan atau air liur.
Setelah seseorang terinfeksi oleh virus polio, ia tidak menjadi sakit segera. Gejala penyakit biasanya muncul setelah 7 sampai 14 hari, tetapi periode inkubasi ini dapat sesingkat 4 hari atau selama 35 hari di beberapa orang.
Gejala-gejala dari polio disebabkan oleh poliovirus, yang termasuk virus RNA kecil yang menyebar melalui kontak dengan lendir oral (mulut, hidung, dll). Paling umum, virus melekat dan menginfeksi sel-sel usus, berlipatganda, dan dikeluarkan dalam feces dari individu yang terinfeksi. Jarang, pada 2% dari kasus-kasus, virus menyebar dari sistem percernaan ke sistem syaraf dan menyebabkan penyakit kelumpuhan.
 
IV. PROSES PENULARAN POLIO

Virus masuk melalui mulut dan hidung lalu berkembang biak di dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus. Selanjutnya, diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan pembuluh getah bening.
Penularan virus terjadi secara langsung melalui beberapa cara, yaitu:
·         fekal-oral
Maksudnya, melalui minuman atau makanan yang tercemar virus polio yang berasal dari tinja penderita lalu masuk ke mulut orang yang sehat.
·         oral-oral (dari mulut ke mulut)
Yaitu melalui percikan ludah atau air liur penderita yang masuk ke mulut orang sehat lainnya. Sebenarnya, kondisi suhu yang tinggi dapat cepat mematikan virus. Sebaliknya, pada keadaan beku atau suhu yang rendah justru virus dapat bertahan hidup bertahun-tahun. Ketahanan virus ini di dalam tanah dan air sangat bergantung pada kelembapan suhu dan adanya mikroba lain. Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-kilometer dari sumber penularan.
Virus Polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol namun peka terhadap formaldehide dan larutan chlor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi pada keadaan beku dapat bertahan bertahun-tahun. Ketahanan virus di tanah dan air sangat tergantung kelembaan suhu dan adanya mikroba lainnya.Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-kilometer dari sumber penularan. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, namun hidup virus ini di lingkungan terbatas. Salah satu inang atau mahluk hidup perantara yang dapat dibuktikan sampai saat ini adalah manusia.
Faktor yang mempengaruhi penyebaran virus adalah kepadatan penduduk, tingkat higienis, kualitas air, dan fasilitas pengolahan limbah. Di area dengan sanitasi yang bagus dan air minum yang tidak terkontaminasi, rute transmisi lainnya mungkin penting. Bahan yang dianggap infeksius untuk virus polio adalah feses dan sekresi pernafasan dari pasien yang terinfeksi virus polio atau yang menerima OPV (Oral Poliovirus Vaccine) dan produk laboratorium yang digunakan untuk percobaan dengan menggunakan virus polio. Bahan yang dianggap berpotensi infeksius adalah feses dan sekresi faring yang dikumpulkan untuk tujuan apapun dari daerah yang masih terdapat virus polio liar. Darah, serum dan cairan serebrospinal tidak diklasifikasikan infeksius untuk virus polio.
Virus polio hanya menyerang primata, termasuk manusia. Virus polio masuk melalui saluran cerna. Setelah masuk, virus akan bereplikasi (memperbanyak diri). Sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tipe sel dan tempat spesifik yang digunakan virus ini untuk bereplikasi pertama kalinya. Hanya saja, virus ini dapat diisolasi dari jaringan limfe di saluran cerna, sehingga diduga tempat replikasi pertama virus tersebut adalah di jaringan limfe saluran cerna terutama “bercak Peyer” dan tonsil. Meskipun begitu, tidak jelas apakah virus polio memang bereplikasi di tempat tersebut atau “hanya terserap” oleh jaringan limfe setelah bereplikasi di sel epitel saluran cerna. Fase ini berlangsung 3-10 hari, dapat sampai 3 minggu. Virus polio pada fase ini dapat ditemukan di ludah dan feses, dan berperan dalam proses penularan.
Setelah memperbanyak diri di jaringan limfe saluran cerna, virus polio akan menyebar melalui darah (viremia) untuk menuju sistem retikuloendotelial lainnya, termasuk diantaranya nodus limfe, sunsum tulang, hati, dan limpa, dan mungkin ke tempat lainnya seperti jaringan lemak coklat dan otot.
Sebagian besar dari mereka yang terinfeksi virus polio tidak menunjukkan gejala apapun, atau menunjukkan gejala yang disebut poliomielitis abortif (ada yang menyebutnya fase klinis minor dari infeksi virus polio). Gejalanya mirip infeksi virus pada umumnya, yaitu demam, nyeri tenggorokan, gangguan saluran cerna (mual, muntah, rasa tidak enak di perut, konstipasi atau mungkin diare), dan atau gejala yang menyerupai influenza, ditandai dengan sakit kepala, mialgia (nyeri otot), dan badan terasa lemas. Sebagian besar dari mereka yang terinfeksi dapat mengatasi infeksi yang terjadi sebelum timbul viremia yang kedua.
Sekitar 5% dari mereka yang terinfeksi, setelah perbanyakan virus di sistem retikuloendotelial dan tempat lainnya, akan terjadi penyebaran virus di darah (viremia) yang kedua. Meskipun sistem saraf pusat (mungkin) dapat terserang ketika viremia pertama, namun mayoritas terjadi setelah viremia kedua (Di sini poin utama pentingnya vaksinasi polio

V.                GEJALA KLINIS
Masa inkubasi virus polio biasanya berkisar 3-35 hari. Gejala umum serangannya adalah pengidap mendadak lumpuh pada salah satu anggota gerak setelah demam selama 2-5 hari. Berikut fase-fase infeksi virus tersebut:
·         Stadium Akut
Yaitu fase sejak adanya gejala klinis hingga 2 minggu. Ditandai dengan suhu tubuh yang meningkat. Kadang disertai sakit kepala dan muntah-muntah. Kelumpuhan terjadi akibat kerusakan sel-sel motor neuron di bagian tulang belakang (medula spinalis) lantaran invasi virus. Kelumpuhan ini bersifat asimetris sehingga cenderung menimbulkan gangguan bentuk tubuh (deformitas) yang menetap atau bahkan menjadi lebih berat. Kelumpuhan yang terjadi sebagian besar pada tungkai kaki (78,6%), sedangkan 41,4% pada lengan. Kelumpuhan ini berlangsung bertahap sampai sekitar 2 bulan sejak awal sakit.
·         Stadium Sub Akut
Yaitu fase 2 minggu sampai 2 bulan. Ditandai dengan menghilangnya demam dalam waktu 24 jam. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Terjadi kelumpuhan anggota gerak yang layuh dan biasanya salah satu sisi saja.
·         Stadium Konvalescent
Yaitu fase pada 2 bulan sampai dengan 2 tahun. Ditandai dengan pulihnya kekuatan otot yang sebelumnya lemah. Sekitar 50-70 persen fungsi otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Selanjutnya setelah 2 tahun diperkirakan tidak terjadi lagi pemulihan kekuatan otot.
·         Stadium Kronik
Yaitu lebih dari 2 tahun. Kelumpuhan otot yang terjadi sudah bersifat permanen.

VI.             UPAYA PENCEGAHAN

Ada beberapa langkah upaya pencegahan penyebaran penyakit polio ini, di antaranya adalah:
·         Eradikasi Polio
Dalam World Health Assembly tahun 1988 yang diikuti oleh sebagian besar negara di seluruh penjuru dunia dibuat kesepakatan untuk melakukan Eradikasi Polio (ERAPO) tahun 2000, artinya dunia bebas polio tahun 2000. Program ERAPO yang pertama dilakukan adalah dengan melakukan cakupan imunisasi yang menyeluruh.
·         PIN (Pekan Imunisasi Nasional)
Selanjutnya, pemerintah mengadakan PIN pada tahun 1995, 1996 dan 1997. Imunisasi polio yang harus diberikan sesuai dengan rekomendasi WHO yaitu diberikan sejak lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian diulang pada saat usia 1,5 tahun; 5 tahun; dan usia 15 tahun.
Upaya imunisasi yang berulang ini tentu takkan menimbulkan dampak negatif. Bahkan merupakan satu-satunya program yang efisien dan efektif dalam pencegahan penyakit polio.
·         Survailance Acute Flaccid Paralysis
Yaitu mencari penderita yang dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun. Mereka harus diperiksa tinjanya untuk memastikan apakah karena polio atau bukan. Berbagai kasus yang diduga infeksi polio harus benar-benar diperiksa di laboratorium karena bisa saja kelumpuhan yang terjadi bukan karena polio.
·         Mopping Up
Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak usia di bawah 5 tahun di daerah ditemukannya penderita polio tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya.
Tampaknya di era globalisasi dimana mobilitas penduduk antarnegara sangat tinggi dan cepat, muncul kesulitan dalam mengendalikan penyebaran virus ini. Selain pencegahan dengan vaksinasi polio tentu harus disertai dengan peningkatan sanitasi lingkungan dan sanitasi perorangan. Penggunaan jamban keluarga, air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan, serta memelihara kebersihan makanan merupakan upaya pencegahan dan mengurangi risiko penularan virus polio yang kembali mengkhawatirkan ini.
Menjadi salah satu keprihatinan dunia bahwa kecacatan akibat polio menetap tak bisa disembuhkan. Penyembuhan yang bisa dilakukan sedikit sekali alias tidak ada obat untuk menyembuhkan polio. Namun, sebenarnya orang tua tak perlu panik jika bayi dan anaknya telah memperoleh vaksinasi polio lengkap.

VII.          VAKSIN POLIO

Vaksin polio adalah vaksin polio oral hidup berupa suspensi dalam air dari galur pilihan virus Poliomyelitis tipe 1, tipe 2, atau tipe 3 hidup yang dilemahkan dan dibiakkan dalam biakan sel yang memenuhi syarat. Sediaan dapat mengandung satu tipe virus atau campuran dari dua atau tiga tipe virus. Sediaan berupa cairan jernih dan stabil.
Polio sudah dikenal sejak zaman pra-sejarah. Lukisan dinding di kuil-kuil Mesir kuno menggambarkan orang-orang sehat dengan kaki layu yang berjalan dengan tongkat. Kaisar Romawi Claudius terserang polio ketika masih kanak-kanak dan menjadi pincang seumur hidupnya.
Pada 1947 Salk ditunjuk menjadi seorang Kepala Laboratorium Penelitian Virus di Universitas Pittsburgh. Berbekal dasar pengetahuan dari penelitian sebelumnya, Salk mulai menyelidiki tentang virus polio penyebab penyakit poliomyelitis. Penyakit ini cukup mengerikan. Kondisi paling parah yang dapat terjadi adalah penderita dapat mengalami kelumpuhan permanen bahkan kematian. Virus penyerang sel-sel saraf ini dapat menjangkiti orang dewasa dan paling banyak menyerang anak-anak yang belum memiliki kekebalan terhadap serangan penyakit ini.
Poliomyelitis sebenarnya telah ada sejak jaman dahulu dan hingga sekarang belum ada obatnya. Pada awal abad ke-20, kasus polio di Amerika telah menjadi sebuah epidemi yang makin lama terlihat semakin mengkhawatirkan dan berpotensi menjadi sebuah bencana besar. Oleh sebab itulah Jonas Salk bekerja sama dengan National Foundation of Infantile Paralysis (Yayasan Nasional untuk anak-anak penderita paralisis atau kelumpuhan) berupaya untuk mencari cara pencegahannya dengan membuat vaksin polio.
Salk menginaktifkan virus polio dengan menggunakan formaldehid dan tetap membuat virus tersebut mampu memicu tubuh memberikan respons yang diinginkan, yaitu memicu pembentukan antibodi. Pada 1952 Salk mulai mencoba memberikan vaksin buatannya kepada dua kelompok sukarelawan.
Kelompok pertama terdiri dari anak-anak penderita polio, sementara kelompok kedua terdiri dari sukarelawan yang tidak terkena polio, termasuk Salk sendiri, istri dan anak-anaknya. Pada kelompok pertama, hasil menunjukkan adanya peningkatan antibodi dalam tubuh. Sedangkan pada kelompok kedua, seluruh sukarelawan yang terlibat juga menunjukkan adanya pembentukan antibodi dalam tubuh. Tidak ada seorang pun yang menjadi sakit karena pemberian vaksin ini, karena virus yang diinjeksikan ke dalam tubuh sudah mati.
Keberhasilan ini dilaporkan Salk pada tahun 1953 dalam The Journal of the American Medical Association. Setelah itu, sebanyak lebih dari 1,8 juta anak ikut serta dalam program nasional vaksinasi masal di Amerika dengan hasil yang sangat memuaskan. Tahun 1955, vaksin polio temuan Salk dinilai efektif melindungi tubuh dari serangan virus polio.
Penemuan ini sempat terlihat gagal setelah muncul 200 kasus polio justru sesudah pemberian vaksin. Hal itu ternyata terjadi karena ada proses pembuatan vaksin yang kurang sempurna di salah satu perusahaan obat pembuatnya. Keadaan tersebut segera diperbaiki dan akhirnya pada tahun 1959 sebanyak 90 negara di dunia menggunakan vaksin temuan Salk ini.
Seorang peneliti, Albert Sabin, mencoba menyempurnakan vaksin polio temuan Salk karena ia mengganggap vaksin Salk tidak cukup kuat untuk melawan virus polio. Albert Sabin membuat vaksin dari virus polio hidup yang sebelumnya telah dilemahkan, sementara vaksin temuan Salk terdiri dari kumpulan virus yang sudah mati.
Cara pemberiannya pun berbeda. Pemberian vaksin polio dengan cara injeksi dipilih oleh Salk sedangkan pemberian vaksin secara oral (OPV) dipilih Sabin. Vaksin polio oral dinilai lebih murah dan lebih mudah dibuat. Pada 1962, Sabin berhasil mendapat lisensi atas penemuannya.
Meskipun Sabin yang mendapat lisensinya, peran besar Salk sebagai penemu pertama vaksin polio tak boleh dikecilkan. Berkat jasanyalah jutaan anak di seluruh dunia dapat terhindar dari penyakit polio.

VIII.       JENIS-JENIS VAKSIN POLIO
  1. Oral Polio Vaccine (OPV) 
Jenis vaksin Virus Polio Oral atau Oral Polio Vaccine (OPV) ini paling sering dipakai di Indonesia. Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan  melalui mulut. Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan. OPV di Indonesia dibuat oleh PT Biofarma Bandung. Komposisi vaksin tersebut terdiri atas virus polio tipe 1, 2 dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak dua tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.
Virus dalam vaksin ini setelah diberikan dua tetes akan menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang akan masuk. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan dosis pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan memberikan perlindungan jangka panjang.
Virus polio ini dapat bertahan di tinja hingga enam minggu setelah pemberian vaksin melalui mulut. Anak yang telah mendapatkan imunisasi OPV dapat memberikan pengeluaran virus vaksin selama enam minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk orang yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru diimunisasi harus menjaga kebersihan.
Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan 1 jenis polio. Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I,II, III, dan IV) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun).Vaksin yang disuntikan yang paling baru adalah vaksin polio yang tidak diaktifkan yang ditingkatkan dan lebih immunogenic (menghasilkan respon sistim imun yang kuat) daripada IVP sebelumnya dan digunakan di Amerika; ia tidak menyebabkan VAPP. Original OVP (juga diistilahkan tOVP) adalah vaksin oral trivalent (virus-virus polio tipe-tipe 1-3) namun menyebabkan respon imun yang dapat diukur pada hanya kira-kira 40%-50% dari rang-orang yang memperolehnya. Sayangnya, vaksin oral trivalent ini seringkali adalah tidak cukup cepat immunogenic untuk menahan pelemahan atau pengeluaran dari sistim pencernaan oleh diare kronis yang ada pada banyak pasien-pasien. OVP dimodifikasi pada tahun 2005 ke monovalent (hanya virus polio tipe 1) yang diistilahkan mOVP1. Perubahan ini menyebabkan vaksin menjadi tiga kali lebih immunogenic daripada original trivalent OVP dan menghasilkan respon imun pada lebih dari 80% dari orang-orang yang memperoleh vaksin oral ini.
  1. Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV) 
Di Indonesia, meskipun sudah tersedia tetapi Vaksin Polio Inactivated atau Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV)  belum banyak digunakan. IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV tidak hidup dan tidak dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio walaupun  diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh yang lemah.
Proses produksi vaksin ini melalui tahapan sebagai berikut :
  1. Penyiapan media (sel vero) untuk pengembangbiakan virus,  dilakukan dengan menggunakan mikrokarier, yaitu bahan pembawa yang akan mengikat sel tersebut. Bahan tersebut adalah N,N diethyl amino ethyl (DEAE).
  2. Pada proses selanjutnya sel vero ini harus dilepaskan dari mikrokarier menggunakan enzim tripsin yang berasal  dari babi. (proses penanaman/inokulasi virus)
  3. Pemurnian virus
Tahap pembuangan larutan nutrisi. Hal ini dilakukan dengan proses pencucian menggunakan larutan PBS buffer. Larutan ini kemudian dinetralkan dengan menggunakan larutan serum anak sapi (calf serum). Larutan yang tidak digunakan tersebut dibuang atau menjadi produk samping yang digunakan untuk keperluan lain. Sel-sel vero yang sudah dimurnikan dan dinetralisasi itu kemudian ditambahkan mikrokarier yang baru dan ditempatkan di bioreactor yang lebih besar.
  1. Tahap pemanenan
Pada tahap ini di dalamnya ditambahkan zat nutrisi yang sedikit berbeda untuk menumbuhkan sel vero dalam jumlah yang lebih besar. Sel vero yang sudah bertambah jumlahnya ini kemudian dilepaskan lagi dari mikrokariernya dengan  tripsin babi lagi.
Proses ini berlangsung secara berulang-ulang sampai dihasilkan sel  vero dalam jumlah yang diinginkan. Titik kritis ditinjau dari sudut kehalalan dalam pembuatan sel vero ini adalah penggunaan enzim tripsin. Hal ini menyebabkan produk akhir vaksin yang dihasilkan tidak  akan terdeteksi lagi unsur babinya.

  1. Tahap pembuatan vaksin
Tahap selanjutnya dalam proses pembuatan vaksin ini adalah perbiakan sel vero  menjadi produk bulk yang siap digunakan. Dalam tahap ini dilakukan proses amplifikasi (pembiakan sel dengan mikrokarier) , pencucian sel vero dari tripsin, inokulasi virus, panen virus, filtrasi, pemurnian dan inaktivasi. Pada proses pencucian hingga inaktivasi tersebut sebenarnya sudah tidak melibatkan unsur babi lagi.
Pemberian vaksin tersebut dengan cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5 ml diberikan dalam empat kali berturut-turut dalam  jarak dua bulan. Untuk orang yang mempunyai kontraindikasi atau tidak diperbolehkan mendapatkan OPV maka dapat menggunakan IPV.  Demikian pula bila ada seorang kontak yang mempunyai daya tahan tubuh yang lemah maka bayi dianjurkan untuk    menggunakan IPV. 

IX.             EFEK SAMPING IMUNISASI 

Pada umumnya reaksi terhadap vaksin dapat berupa reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain berupa efek farmakologi, efek samping, interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi dan reaksi alergi. Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi vaksin, kesalahan prosedur, teknik pelaksanaan dan faktor kebetulan.
Efek samping imunisasi adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi. Efek samping imunisasi polio memang jarang ditemukan. Setelah pemberian vaksinasi OPV sebagian kecil penerima akan mengalami gejala pusing-pusing, diare ringan dan sakit pada otot. Lebih jarang lagi, diperkirakan setiap 2,5 dosis OPV yang diberikan dapat mengalami kasus Paralitik Poliomielitis (Vaccine-Associated Paralytic Poliomyelitis atau VAPP). VAPP merupakan kejadian lumpuh layu akut (AFP) 4 - 40 hari setelah diberikan vaksin OPV dengan sekuele neurologis susulan yang mirip dengan polio setelah 60 hari. Sementara itu, kasus VAPP kontak terjadi ketika virus yang berasal dari vaksin OPV (VDPV) diekskresikan dan menyebar kepada anak-anak yang tidak diimunisasi atau anak-anak yang belum menerima OPV secara lengkap.
Efek samping imunisasi pada janin belum pernah dilaporkan, namun OPV jangan diberikan pada ibu hamil empat bulan pertama kecuali terdapat alasan mendesak misalnya bepergian ke daerah endemis poliomielitis. Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin inactivated dan virus hidup lainnya, tetapi tidak boleh diberikan bersama vaksin tifoid oral. Bila BCG diberikan pada bayi, tidak perlu memperlambat pemberian OPV, karena OPV memacu imunitas lokal dan pembentukan antibodi dengan cara replikasi dalam usus.
Di dalam vaksin polio OPV dan IPV mengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimisin, streptomisin) namun hal ini tidak merupakan kontra indikasi kecuali pada anak yang mempunyai bakat hipersensitif yang berlebihan. Pascaimunisasi pada pemberian OPV sebaiknya memperhatikan kontra indikasi secara cermat, penggunaan vaksin tersebut.

X.                PEMBUATAN VAKSIN

Pembuatan dilakukan dengan cara sistem biakan benih yang dipasase tidak lebih dari 3 subkultur, yang pada uji laboratorium dan uji klinis menunjukkan galur yang sesuai sebagai berikut:
1.      Masing-masing tipe virus dibiakkan dalam biakan sel yang telah bebas dari cemaran mikroorganisme asing. Media untuk pertumbuhan awal sel dapat ditambahkan serum hewan, tetapi media untuk pemeliharaan biakan sel selama pengembangbiakan virus tidak boleh mengandung protein. Media biakan sel dapat mengandung indikator pH yang sesuai, seperti merah fenol, dan antibiotik yang sesuai dengan kadar efektif terkecil.
2.      Suspensi virus dipanen, kemudian dilakukan uji identifikasi, sterilitas, dan bebas virus asing.
3.      Kumpulkan virus yang telah memenuhi syarat dan saring melalui penyaring bakteri.
4.      Terhadap virus yang telah disaring, lakukan uji identifikasi, kemampuan tumbuh pada suhu yang berbeda, dan penetapan konsentrasi virus dalam biakan sel.
5.      Uji neurovirulen dilakukan dengan penyuntikan secara intraspinal pada Macaca irus (kera Cynomolgus) atau hewan sejenis yang peka. Vaksin uji dan vaksin homotipik pembanding diuji secara bersamaan menggunakan kera yang berasal dari satu kelompok karantina.

XI.             KINERJA VAKSIN

Bakteri, virus dan kuman penyakit mengancam tubuh setiap harinya. Tetapi bila penyakit yang disebabkan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh, maka tubuh kita akan membentuk suatu sistem kekebalan, membuat protein yang disebut antibodi untuik melawan mikroorganisme tersebut. Tujuan dari sistem kekebalan tubuh adalah mencegah penyakit dengan menghancurkan serbuan dari luar atau membuatnya menjadi tidak berbahaya.
Vaksin merangsang sistem kekebalan tubuh. Untuk memahami bagaimana vaksin bekerja, maka perlu diketahui juga bagaimana tubuh kita mendapatkan kekebalan.
Memahami kekebalan tubuh bisa kebal terhadap bakteri, virus dan kuman dengan dua cara:
*      Dengan mendapat penyakit (kekebalan alami).
*      Dengan vaksin (kekebalan yang disebabkan oleh vaksin).
Baik itu kekebalan alami atau dari vaksinasi, sekali anda mendapat kekebalan terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, anda akan lebih terlindungi dari penyakit tersebut. Kekebalan alami berkembang setelah terekspos oleh organisme tertentu. Sistem kekebalan akan bekerja sebagai pertahanan terhadap penyakit yang sama dari virus atau bakteri tertentu.
Paparan terhadap penyerbu ini akan merangsang pembentukan sel darah putih tertentu dalam tubuh yang disebut sel B. Sel B memproduksi plasma sel, yang kemudian memproduksi antibodi yang didesain spesifik untuk melawan kuman. Antibodi ini disirkulasi ke cairan tubuh. Bila ada kuman yang sama masuk dalam tubuh di lain waktu, antibodi itu akan mengenali dan akan menghancurkannya. Sekali tubuh kita memproduksi antibodi tertentu, maka antibodi tersebut akan diproduksi bila diperlukan.
Disamping kerja sel B, sel darah putih dan macrophages menghadapi dan memusnahkan penyerbu asing. Jika tubuh bertemu dengan kuman yang belum pernah terekspos sebelumnya, informasi mengenai kuman disampaikan ke sel darah putih yang disebut sel T pembantu. Sel ini membantu produksi sel yang berjuang melawan infeksi lain.
Satu kali terekspos oleh virus atau bakteri tertentu, waktu berikutnya terekspos, antibodi dan sel T akan bekerja. Mereka dengan segera bereaksi terhadap organisme, menyerangnya sebelum penyakit berkembang. Sistem kekebalan bisa mengenali dan secara efektif bertempur melawan organisme yang berbeda.
Kekebalan selama vaksinasi yang mengandung virus, bakteri atau organisme lain yang telah mati atau dilemahkan disuntikkan ke dalam tubuh. Vaksin kemudian merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi untuk melawan organisme tersebut. Lain waktu saat organisme tersebut kembali menyerang tubuh, antibodi dari sistem kekebalan akan menyerang dan akan menghentikan infeksi.
Hasil kekebalan yang disebabkan oleh vaksin didapat setelah menerima vaksin. Vaksin memicu kemampuan sistem kekebalan berjuang melawan infeksi dengan tanpa kontak langsung dengan kuman yang menghasilkan penyakit. Vaksin berisi kuman yang telah dimatikan atau dilemahkan atau derivatifnya. Kalau diberikan kepada orang sehat, vaksin memicu respon kekebalan tubuh. Vaksin memaksa tubuh berpikir bahwa sedang diserang oleh organisme spesifik, dan sistem kekebalan bekerja untuk memusnahkan penyerbu dan mencegahnya menginfeksi lagi.
Jika terekspos terhadap penyakit saat telah divaksin, kuman yang menyerbu akan menghadapi antibodi. Kekebalan anda berkembang mengikuti vaksinasi mirip kekebalan yang diperoleh dari infeksi alami.
Beberapa dosis vaksin mungkin diperlukan untuk jawaban kebal yang penuh. Beberapa orang gagal mendapatkan kekebalan penuh saat dosis pertama vaksin tetapi memberi hasil pada dosis lanjutan. Sebagai tambahan, kekebalan yang didapatkan dari beberapa vaksin, seperti tetanus dan pertussis, tidak untuk seumur hidup. Karena respon kekebalan mungkin berkurang dengan berjalannya waktu, mungkin perlu dosis vaksin tambahan untuk memulihkan atau menambah kekebalan.
Tipe-tipe vaksin disiapkan dengan beberapa cara yang berbeda. Untuk tiap tipe, tujuannya adalah sama, yaitu merangsang sistem kekebalan tanpa menyebabkan penyakit.

·         Vaksin dilemahkan. Beberapa vaksin, seperti campak, cacar dan cacar air (variscella), menggunakan virus hidup yang telah dilemahkan. Vaksin tipe ini menghasilkan respon antibodi yang kuat, seringkali hanya perlu satu kali pemakaian diperlukan untuk kekebalan seumur hidup.
·         Vaksin inaktifasi. Vaksin lain dibuat dengan cara menggunakan bakteri atau virus yang sudah di inaktifasi. Vaksin polio dibuat dengan cara ini. Vaksin ini umumnya lebih aman dari vaksin hidup karena organisme penyebab penyakit tidak dapat bermutasi kembali menyebabkan penyakit setelah organisme tersebut dimatikan.
·         Vaksin toksoid. Beberapa tipe bakteria menyebabkan penyakit dengan memproduksi toksin yang menyerang pembuluh darah. Vaksin toksoid, seperti pada difteri dan tetanus,
·         Vaksin aselular dan subunit. Vaksin aselular dan subunit dibuat dengan menggunakan bagian-bagian dari virus atau bakteri. Vaksin hepatitis dan Haemophilus influenzae tipe b dibuat dengan cara ini.
Saat ini, vaksin untuk hampir dua lusin penyakit berbeda diizinkan untuk penggunaan di Amerika. Ada 12 vaksin yang direkomendasikan untuk anak berumur dibawah 2 tahun. Menurut Pusat untuk Kontrol Penyakit dan Pencegahan, usaha imunisasi yang tersebar luas sudah merendahkan laju timbulnya beberapa penyakit gawat, termasuk diphtheria, tetanus, campak dan polio sebanyak lebih dari 95 persen sejak awal abad ke-20.
Penyakit yang dapat membunuh atau menyebabkan cacat permanen sebaliknya dapat dicegah dengan vaksin, seperti kelumpuhan pada polio, kerusakan pendengaran pada radang selaput otak, kerusakan hati pada hepatitis B, atau kerusakan otak (radang otak) pada campak. Kekebalan dari perlindungan vaksin menawarkan perlindungan yang mirip dengan bila diperoleh dari infeksi alami. Pada saat yang bersamaan, vaksin jarang menyebabkan individu dalam resiko keadaan komplikasi serius akibat infeksi.
Beberapa orang percaya bahwa banyak yang terjangkit saat mewabahnya suatu penyakit adalah sebenarnya yang dulunya divaksinasi. Dan ada yang bilang bahwa kekebalan dari vaksin tidak efektif. Benar bahwa vaksin tidak 100 persen melindungi. Kebanyakan vaksin yang disuntikkan saat masa kecil efektif bagi 85% hingga 95% dari penerima. Selama mewabahnya suatu penyakit, sejumlah orang yang pernah divaksinasi memang akan ketularan penyakit. Tetapi, biasanya orang yang telah divaksinasi biasanya sakitnya lebih tidak parah, sedangkan yang tidak divaksinasi lebih dalam bahaya besar.

XII.          WADAH DAN PENYIMPANAN

Simpan pada suhu yang tertera pada label kemasan (misalnya -25°C), mengingat sifat stabilisator yang digunakan. Jika telah dicairkan, vaksin harus disimpan pada suhu 2°-8°C dan digunakan dalam waktU 6 bulan. Jika disimpan pada suhu yang lebih tinggi, vaksin harus segera digunakan dalam beberapa jam.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Chroni E, Howard RS, Panayiotopoulos CP, Spencer GT. 1995. Multiple sclerosis presenting as late functional deterioration after poliomyelitis. Postgrad Med J. 71:52-4.
2.      Graham JM. 2004. Post-polio deterioration. Pract Neurol. 4:58-9.
3.      Howard RS. 2005. Poliomyelitis and the postpolio syndrome. BMJ. 330: 1314-1318.
4.      Howard RS, Davidson C. 2003. Long termventilation in neurogenic respiratory failure. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 74(suppl III):iii24-30.
5.      Martyn CN, Barker DJP, Osmond C. 1988. Motoneurone disease and postpoliomyelitis in England and Wales. Lancet. i:1319-22.
6.      Wilson H, Kidd D, Howard RS, Williams AJ. 2000. Calf hypertrophy following paralytic poliomyelitis Postgrad Med J. 76:179-81.
7.      Windebank AJ. Differential diagnosis and prognosis. 1995. In: Halstead LS, Grimby G. Post-polio syndrome. Philadelphia: Henley and Belfus: 69-88.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar