PENYAKIT POLIO
I.
PENGERTIAN POLIO
Poliomyelitis atau polio,
adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa
penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh
melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah
dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang
kelumpuhan.Virus Polio termasuk genus enteroviorus, famili Picornavirus.
Bentuknya adalah ikosahedral tanpa sampul dengan genome RNA single stranded
messenger molecule. Single RNA ini membentuk hampir 30 persen dari virion dan
sisanya terdiri dari 4 protein besar (VP1-4) dan satu protein kecil (Vpg).
Polio
adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit peradaban. Polio
menular melalui kontak antar manusia. Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut
ketika seseorang memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi feses.
Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda
dan amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat
terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh
persen kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Penyebab
penyakit polio terdiri atas tiga strain yaitu strain 1 (brunhilde) strain 2
(lanzig), dan strain 3 (Leon). Strain 1 adalah yang paling paralitogenik atau
yang paling ganas dan sering kali menyebabkan kejadian luar biasa atau wabah.
Strain ini sering ditemukan di Sukabumi. Sedangkan Strain 2 adalah yang paling
jinak.
Penyakit
Polio terbagi atas tiga jenis yaitu :
- Polio
non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif.
Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot terasa lembek jika
disentuh.
2. Polio
Paralisis Spinal Jenis Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang
belakang, menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada
batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan
kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita akan
mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi pada kaki.
Setelah poliovirus menyerang usus, virus ini akan diserap oleh kapiler darah
pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh. Poliovirus menyerang saraf tulang
belakang dan neuron motor -- yang mengontrol gerak fisik. Pada periode inilah
muncul gejala seperti flu. Namun, pada penderita yang tidak memiliki kekebalan
atau belum divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian batang
saraf tulang belakang dan batang otak. Infeksi ini akan mempengaruhi sistem
saraf pusat menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring dengan berkembang biaknya
virus dalam sistem saraf pusat, virus akan menghancurkan neuron motor. Neuron
motor tidak memiliki kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya
tidak akan bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada
kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas -- kondisi ini disebut acute flaccid
paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat menye-babkan
kelumpuhan pada batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut),
disebut quadriplegia.
3. Polio Bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga batang
otak ikut terserang. Batang otak mengandung neuron motor yang mengatur
pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai otot yang
mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang
berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori
yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan
dan berbgai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang
mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur
pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan
kematian. Lima hingga sepuluh persen penderta yang menderita polio bulbar akan
meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya
terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim
''perintah bernapas'' ke paru-paru. Penderita juga dapat meninggal karena
kerusakan pada fungsi penelanan; korban dapat ''tenggelam'' dalam sekresinya
sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk
menyedot cairan yang disekresikan sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun
trakesotomi juga sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan
''paru-paru besi'' (iron lung). Alat ini membantu paru-paru yang lemah
dengan cara menambah dan mengurangi tekanan udara di dalam tabung. Kalau
tekanan udara ditambah, paru-paru akan mengempis, kalau tekanan udara
dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan demikian udara terpompa keluar
masuk paru-paru. Infeksi yang jauh lebih parah pada otak dapat menyebabkan koma
dan kematian.
II.
PENYEBAB POLIO
Penyakit polio disebabkan oleh tiga jenis polivirus,
yakni tipe 1, tipe 2 dan tipe 3. Hingga saat ini vaksin yang diberikan pada
anak ditargetkan untuk melawan ketiga jenis virus atau hanya salah satunya.
Polivirus tipe 1 adalah yang paling ganas dan seringkali menyebabkan wabah.
Sedangkan tipe 2 dan 3 merupakan yang paling jinak.
Polio yang
diakibatkan oleh polivirus tipe 2 terakhir kali tercatat ada di India tahun
1999 sehingga kini dibutuhkan vaksin yang mampu melenyapkan dua tipe virus
lainnya..
Virus penyebab polio sangat menular dan dapat dengan
mudah menyebar dari satu orang ke orang lain. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bila seseorang terinfeksi oleh virus polio, transmisi polio kontak antara
rumah tangga rentan terjadi di hampir semua anak-anak di rumah dan di lebih
dari 90 persen orang dewasa di rumah tangga.
Ketika seseorang terinfeksi oleh virus polio, virus
hidup di saluran pencernaan dan lendir di hidung dan tenggorokan. Penyakit ini
menular melalui kontak dengan kotoran orang yang terinfeksi. Meskipun jarang
terjadi, virus polio ini menyebar melalui kontak dengan cairan saluran
pernapasan atau air liur.
Setelah
seseorang terinfeksi oleh virus polio, ia tidak menjadi sakit segera. Gejala
penyakit biasanya muncul setelah 7 sampai 14 hari, tetapi periode inkubasi ini
dapat sesingkat 4 hari atau selama 35 hari di beberapa orang.
Gejala-gejala
dari polio disebabkan oleh poliovirus, yang termasuk virus RNA kecil yang
menyebar melalui kontak dengan lendir oral (mulut, hidung, dll). Paling umum,
virus melekat dan menginfeksi sel-sel usus, berlipatganda, dan dikeluarkan
dalam feces dari individu yang terinfeksi. Jarang, pada 2% dari kasus-kasus,
virus menyebar dari sistem percernaan ke sistem syaraf dan menyebabkan penyakit
kelumpuhan.
IV. PROSES PENULARAN POLIO
Virus masuk melalui mulut dan hidung lalu
berkembang biak di dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus.
Selanjutnya, diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan pembuluh
getah bening.
Penularan virus terjadi secara langsung melalui beberapa cara, yaitu:
·
fekal-oral
Maksudnya,
melalui minuman atau makanan yang tercemar virus polio yang berasal dari tinja
penderita lalu masuk ke mulut orang yang sehat.
·
oral-oral (dari mulut ke mulut)
Yaitu melalui
percikan ludah atau air liur penderita yang masuk ke mulut orang sehat lainnya.
Sebenarnya, kondisi suhu yang tinggi dapat cepat mematikan virus. Sebaliknya,
pada keadaan beku atau suhu yang rendah justru virus dapat bertahan hidup
bertahun-tahun. Ketahanan virus ini di dalam tanah dan air sangat bergantung
pada kelembapan suhu dan adanya mikroba lain. Virus ini dapat bertahan lama
pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-kilometer dari
sumber penularan.
Virus
Polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol namun peka terhadap formaldehide
dan larutan chlor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi pada keadaan
beku dapat bertahan bertahun-tahun. Ketahanan virus di tanah dan air sangat
tergantung kelembaan suhu dan adanya mikroba lainnya.Virus ini dapat bertahan
lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-kilometer
dari sumber penularan. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya
lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, namun hidup virus
ini di lingkungan terbatas. Salah satu inang atau mahluk hidup perantara yang
dapat dibuktikan sampai saat ini adalah manusia.
Faktor yang
mempengaruhi penyebaran virus adalah kepadatan penduduk, tingkat higienis,
kualitas air, dan fasilitas pengolahan limbah. Di area dengan sanitasi yang
bagus dan air minum yang tidak terkontaminasi, rute transmisi lainnya mungkin
penting. Bahan yang dianggap infeksius untuk virus polio adalah feses dan
sekresi pernafasan dari pasien yang terinfeksi virus polio atau yang menerima
OPV (Oral Poliovirus Vaccine) dan produk laboratorium yang digunakan untuk
percobaan dengan menggunakan virus polio. Bahan yang dianggap berpotensi
infeksius adalah feses dan sekresi faring yang dikumpulkan untuk tujuan apapun
dari daerah yang masih terdapat virus polio liar. Darah, serum dan cairan
serebrospinal tidak diklasifikasikan infeksius untuk virus polio.
Virus polio
hanya menyerang primata, termasuk manusia. Virus polio masuk melalui saluran
cerna. Setelah masuk, virus akan bereplikasi (memperbanyak diri). Sampai saat
ini belum diketahui secara pasti, tipe sel dan tempat spesifik yang digunakan
virus ini untuk bereplikasi pertama kalinya. Hanya saja, virus ini dapat
diisolasi dari jaringan limfe di saluran cerna, sehingga diduga tempat
replikasi pertama virus tersebut adalah di jaringan limfe saluran cerna
terutama “bercak Peyer” dan tonsil. Meskipun begitu, tidak jelas apakah virus
polio memang bereplikasi di tempat tersebut atau “hanya terserap” oleh jaringan
limfe setelah bereplikasi di sel epitel saluran cerna. Fase ini berlangsung
3-10 hari, dapat sampai 3 minggu. Virus polio pada fase ini dapat
ditemukan di ludah dan feses, dan berperan dalam proses penularan.
Setelah
memperbanyak diri di jaringan limfe saluran cerna, virus polio akan menyebar
melalui darah (viremia) untuk menuju sistem retikuloendotelial lainnya,
termasuk diantaranya nodus limfe, sunsum tulang, hati, dan limpa, dan mungkin
ke tempat lainnya seperti jaringan lemak coklat dan otot.
Sebagian
besar dari mereka yang terinfeksi virus polio tidak menunjukkan gejala apapun,
atau menunjukkan gejala yang disebut poliomielitis abortif (ada yang
menyebutnya fase klinis minor dari infeksi virus polio). Gejalanya mirip
infeksi virus pada umumnya, yaitu demam, nyeri tenggorokan, gangguan saluran
cerna (mual, muntah, rasa tidak enak di perut, konstipasi atau mungkin diare),
dan atau gejala yang menyerupai influenza, ditandai dengan sakit kepala,
mialgia (nyeri otot), dan badan terasa lemas. Sebagian besar dari mereka yang
terinfeksi dapat mengatasi infeksi yang terjadi sebelum timbul viremia yang
kedua.
Sekitar 5%
dari mereka yang terinfeksi, setelah perbanyakan virus di sistem
retikuloendotelial dan tempat lainnya, akan terjadi penyebaran virus di darah
(viremia) yang kedua. Meskipun sistem saraf pusat (mungkin) dapat terserang ketika
viremia pertama, namun mayoritas terjadi setelah viremia kedua (Di sini poin
utama pentingnya vaksinasi polio
V.
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi
virus polio biasanya berkisar 3-35 hari. Gejala umum serangannya adalah
pengidap mendadak lumpuh pada salah satu anggota gerak setelah demam selama 2-5
hari. Berikut fase-fase infeksi virus tersebut:
·
Stadium Akut
Yaitu fase
sejak adanya gejala klinis hingga 2 minggu. Ditandai dengan suhu tubuh yang
meningkat. Kadang disertai sakit kepala dan muntah-muntah. Kelumpuhan terjadi
akibat kerusakan sel-sel motor neuron di bagian tulang belakang (medula
spinalis) lantaran invasi virus. Kelumpuhan ini bersifat asimetris sehingga
cenderung menimbulkan gangguan bentuk tubuh (deformitas) yang menetap atau
bahkan menjadi lebih berat. Kelumpuhan yang terjadi sebagian besar pada tungkai
kaki (78,6%), sedangkan 41,4% pada lengan. Kelumpuhan ini berlangsung bertahap
sampai sekitar 2 bulan sejak awal sakit.
·
Stadium Sub Akut
Yaitu fase 2
minggu sampai 2 bulan. Ditandai dengan menghilangnya demam dalam waktu 24 jam.
Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Terjadi kelumpuhan anggota
gerak yang layuh dan biasanya salah satu sisi saja.
·
Stadium Konvalescent
Yaitu fase
pada 2 bulan sampai dengan 2 tahun. Ditandai dengan pulihnya kekuatan otot yang
sebelumnya lemah. Sekitar 50-70 persen fungsi otot pulih dalam waktu 6-9 bulan
setelah fase akut. Selanjutnya setelah 2 tahun diperkirakan tidak terjadi lagi
pemulihan kekuatan otot.
·
Stadium Kronik
Yaitu lebih
dari 2 tahun. Kelumpuhan otot yang terjadi sudah bersifat permanen.
VI.
UPAYA PENCEGAHAN
Ada beberapa langkah upaya
pencegahan penyebaran penyakit polio ini, di antaranya adalah:
·
Eradikasi Polio
Dalam World
Health Assembly tahun 1988 yang diikuti oleh sebagian besar negara di seluruh
penjuru dunia dibuat kesepakatan untuk melakukan Eradikasi Polio (ERAPO) tahun
2000, artinya dunia bebas polio tahun 2000. Program ERAPO yang pertama
dilakukan adalah dengan melakukan cakupan imunisasi yang menyeluruh.
·
PIN (Pekan Imunisasi Nasional)
Selanjutnya,
pemerintah mengadakan PIN pada tahun 1995, 1996 dan 1997. Imunisasi polio yang
harus diberikan sesuai dengan rekomendasi WHO yaitu diberikan sejak lahir
sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian diulang pada saat usia 1,5
tahun; 5 tahun; dan usia 15 tahun.
Upaya
imunisasi yang berulang ini tentu takkan menimbulkan dampak negatif. Bahkan
merupakan satu-satunya program yang efisien dan efektif dalam pencegahan
penyakit polio.
·
Survailance Acute Flaccid Paralysis
Yaitu mencari
penderita yang dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun. Mereka harus
diperiksa tinjanya untuk memastikan apakah karena polio atau bukan. Berbagai
kasus yang diduga infeksi polio harus benar-benar diperiksa di laboratorium
karena bisa saja kelumpuhan yang terjadi bukan karena polio.
·
Mopping Up
Artinya
tindakan vaksinasi massal terhadap anak usia di bawah 5 tahun di daerah
ditemukannya penderita polio tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya.
Tampaknya di
era globalisasi dimana mobilitas penduduk antarnegara sangat tinggi dan cepat,
muncul kesulitan dalam mengendalikan penyebaran virus ini. Selain pencegahan
dengan vaksinasi polio tentu harus disertai dengan peningkatan sanitasi
lingkungan dan sanitasi perorangan. Penggunaan jamban keluarga, air bersih yang
memenuhi persyaratan kesehatan, serta memelihara kebersihan makanan merupakan
upaya pencegahan dan mengurangi risiko penularan virus polio yang kembali
mengkhawatirkan ini.
Menjadi salah
satu keprihatinan dunia bahwa kecacatan akibat polio menetap tak bisa disembuhkan.
Penyembuhan yang bisa dilakukan sedikit sekali alias tidak ada obat untuk
menyembuhkan polio. Namun, sebenarnya orang tua tak perlu panik jika bayi dan
anaknya telah memperoleh vaksinasi polio lengkap.
VII.
VAKSIN
POLIO
Vaksin
polio adalah vaksin polio oral hidup berupa suspensi dalam air dari
galur pilihan virus Poliomyelitis tipe 1, tipe 2, atau tipe 3 hidup
yang dilemahkan dan dibiakkan dalam biakan sel yang memenuhi syarat. Sediaan
dapat mengandung satu tipe virus atau campuran dari dua atau tiga tipe virus.
Sediaan berupa cairan jernih dan stabil.
Polio sudah
dikenal sejak zaman pra-sejarah. Lukisan dinding di kuil-kuil Mesir kuno
menggambarkan orang-orang sehat dengan kaki layu yang berjalan dengan tongkat. Kaisar
Romawi Claudius
terserang polio ketika masih kanak-kanak dan menjadi pincang seumur hidupnya.
Pada 1947
Salk ditunjuk menjadi seorang Kepala Laboratorium Penelitian Virus di
Universitas Pittsburgh. Berbekal dasar pengetahuan dari penelitian sebelumnya,
Salk mulai menyelidiki tentang virus polio penyebab penyakit poliomyelitis.
Penyakit ini cukup mengerikan. Kondisi paling parah yang dapat terjadi adalah
penderita dapat mengalami kelumpuhan permanen bahkan kematian. Virus penyerang
sel-sel saraf ini dapat menjangkiti orang dewasa dan paling banyak menyerang
anak-anak yang belum memiliki kekebalan terhadap serangan penyakit ini.
Poliomyelitis
sebenarnya telah ada sejak jaman dahulu dan hingga sekarang belum ada
obatnya. Pada awal abad ke-20, kasus polio di Amerika telah menjadi sebuah
epidemi yang makin lama terlihat semakin mengkhawatirkan dan berpotensi menjadi
sebuah bencana besar. Oleh sebab itulah Jonas Salk bekerja sama dengan National
Foundation of Infantile Paralysis (Yayasan Nasional untuk anak-anak
penderita paralisis atau kelumpuhan) berupaya untuk mencari cara pencegahannya
dengan membuat vaksin polio.
Salk menginaktifkan
virus polio dengan menggunakan formaldehid dan tetap membuat virus
tersebut mampu memicu tubuh memberikan respons yang diinginkan, yaitu memicu
pembentukan antibodi. Pada 1952 Salk mulai mencoba memberikan vaksin buatannya
kepada dua kelompok sukarelawan.
Kelompok
pertama terdiri dari anak-anak penderita polio, sementara kelompok kedua
terdiri dari sukarelawan yang tidak terkena polio, termasuk Salk sendiri, istri
dan anak-anaknya. Pada kelompok pertama, hasil menunjukkan adanya peningkatan
antibodi dalam tubuh. Sedangkan pada kelompok kedua, seluruh sukarelawan yang
terlibat juga menunjukkan adanya pembentukan antibodi dalam tubuh. Tidak ada
seorang pun yang menjadi sakit karena pemberian vaksin ini, karena virus yang
diinjeksikan ke dalam tubuh sudah mati.
Keberhasilan
ini dilaporkan Salk pada tahun 1953 dalam The Journal of the American
Medical Association. Setelah itu, sebanyak lebih dari 1,8 juta anak ikut
serta dalam program nasional vaksinasi masal di Amerika dengan hasil yang
sangat memuaskan. Tahun 1955, vaksin polio temuan Salk dinilai efektif
melindungi tubuh dari serangan virus polio.
Penemuan ini
sempat terlihat gagal setelah muncul 200 kasus polio justru sesudah pemberian
vaksin. Hal itu ternyata terjadi karena ada proses pembuatan vaksin yang kurang
sempurna di salah satu perusahaan obat pembuatnya. Keadaan tersebut segera
diperbaiki dan akhirnya pada tahun 1959 sebanyak 90 negara di dunia menggunakan
vaksin temuan Salk ini.
Seorang
peneliti, Albert Sabin, mencoba menyempurnakan vaksin polio temuan Salk karena
ia mengganggap vaksin Salk tidak cukup kuat untuk melawan virus polio. Albert
Sabin membuat vaksin dari virus polio hidup yang sebelumnya telah dilemahkan,
sementara vaksin temuan Salk terdiri dari kumpulan virus yang sudah mati.
Cara
pemberiannya pun berbeda. Pemberian vaksin polio dengan cara injeksi dipilih
oleh Salk sedangkan pemberian vaksin secara oral (OPV) dipilih Sabin. Vaksin
polio oral dinilai lebih murah dan lebih mudah dibuat. Pada 1962, Sabin
berhasil mendapat lisensi atas penemuannya.
Meskipun
Sabin yang mendapat lisensinya, peran besar Salk sebagai penemu pertama vaksin
polio tak boleh dikecilkan. Berkat jasanyalah jutaan anak di seluruh dunia
dapat terhindar dari penyakit polio.
VIII. JENIS-JENIS
VAKSIN POLIO
- Oral Polio Vaccine (OPV)
Jenis vaksin Virus Polio Oral atau
Oral Polio Vaccine (OPV) ini paling sering dipakai di Indonesia. Vaksin OPV
pemberiannya dengan cara meneteskan cairan melalui mulut. Vaksin ini
terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan. OPV di Indonesia dibuat
oleh PT Biofarma Bandung. Komposisi vaksin tersebut terdiri atas virus polio
tipe 1, 2 dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan
(attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan
distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak dua tetes mengandung virus tipe
1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan
kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.
Virus dalam vaksin ini setelah
diberikan dua tetes akan menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan
antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding luar lapisan usus yang
mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang akan masuk.
Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi terhadap OPV dan
imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan dosis pertama
dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan memberikan
perlindungan jangka panjang.
Virus polio ini dapat bertahan di
tinja hingga enam minggu setelah pemberian vaksin melalui mulut. Anak yang
telah mendapatkan imunisasi OPV dapat memberikan pengeluaran virus vaksin
selama enam minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum
diimunisasi. Untuk orang yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru
diimunisasi harus menjaga kebersihan.
Bentuk
trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio,
bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan 1 jenis polio. Imunisasi dasar polio
diberikan 4 kali (polio I,II, III, dan IV) dengan interval tidak kurang dari 4
minggu. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV,
kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12
tahun).Vaksin yang disuntikan yang paling baru adalah vaksin polio yang tidak
diaktifkan yang ditingkatkan dan lebih immunogenic (menghasilkan respon sistim
imun yang kuat) daripada IVP sebelumnya dan digunakan di Amerika; ia tidak
menyebabkan VAPP. Original OVP (juga
diistilahkan tOVP) adalah vaksin oral trivalent (virus-virus polio tipe-tipe
1-3) namun menyebabkan respon imun yang dapat diukur pada hanya kira-kira
40%-50% dari rang-orang yang memperolehnya. Sayangnya, vaksin oral trivalent
ini seringkali adalah tidak cukup cepat immunogenic untuk menahan pelemahan
atau pengeluaran dari sistim pencernaan oleh diare
kronis yang ada pada banyak pasien-pasien. OVP dimodifikasi pada tahun 2005 ke
monovalent (hanya virus polio tipe 1) yang diistilahkan mOVP1. Perubahan ini menyebabkan
vaksin menjadi tiga kali lebih immunogenic daripada original trivalent OVP dan
menghasilkan respon imun pada lebih dari 80% dari orang-orang yang memperoleh
vaksin oral ini.
- Inactived Poliomyelitis Vaccine
(IPV)
Di Indonesia, meskipun sudah tersedia
tetapi Vaksin Polio Inactivated atau Inactived Poliomyelitis Vaccine
(IPV) belum banyak digunakan. IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus
dalam media pembiakkan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan
pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV tidak hidup dan tidak dapat replikasi
maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio walaupun diberikan
pada anak dengan daya tahan tubuh yang lemah.
Proses produksi vaksin ini melalui tahapan sebagai berikut :
- Penyiapan media (sel vero) untuk pengembangbiakan
virus, dilakukan dengan menggunakan
mikrokarier, yaitu bahan pembawa yang akan mengikat sel tersebut. Bahan
tersebut adalah N,N diethyl amino ethyl (DEAE).
- Pada proses selanjutnya sel vero ini harus dilepaskan dari mikrokarier
menggunakan enzim tripsin yang berasal
dari babi. (proses
penanaman/inokulasi virus)
- Pemurnian virus
Tahap pembuangan larutan nutrisi. Hal ini dilakukan
dengan proses pencucian menggunakan larutan PBS buffer. Larutan ini kemudian
dinetralkan dengan menggunakan larutan serum anak sapi (calf serum). Larutan
yang tidak digunakan tersebut dibuang atau menjadi produk samping yang
digunakan untuk keperluan lain. Sel-sel vero yang sudah dimurnikan dan
dinetralisasi itu kemudian ditambahkan mikrokarier yang baru dan ditempatkan di
bioreactor yang lebih besar.
- Tahap pemanenan
Pada tahap ini di dalamnya
ditambahkan zat nutrisi yang sedikit berbeda untuk menumbuhkan sel vero dalam jumlah yang lebih besar. Sel vero yang
sudah bertambah jumlahnya ini kemudian dilepaskan lagi dari mikrokariernya
dengan tripsin babi lagi.
Proses ini berlangsung secara berulang-ulang sampai
dihasilkan sel vero dalam jumlah yang
diinginkan. Titik kritis ditinjau dari sudut kehalalan dalam pembuatan sel vero
ini adalah penggunaan enzim tripsin. Hal ini menyebabkan produk akhir vaksin
yang dihasilkan tidak akan terdeteksi
lagi unsur babinya.
- Tahap pembuatan vaksin
Tahap selanjutnya dalam proses pembuatan vaksin ini
adalah perbiakan sel vero menjadi produk
bulk yang siap digunakan. Dalam tahap ini dilakukan proses amplifikasi
(pembiakan sel dengan mikrokarier) , pencucian sel vero dari tripsin, inokulasi
virus, panen virus, filtrasi, pemurnian dan inaktivasi. Pada proses pencucian
hingga inaktivasi tersebut sebenarnya sudah tidak melibatkan unsur babi lagi.
Pemberian vaksin tersebut dengan
cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5 ml diberikan dalam empat kali
berturut-turut dalam jarak dua bulan. Untuk orang yang mempunyai
kontraindikasi atau tidak diperbolehkan mendapatkan OPV maka dapat menggunakan
IPV. Demikian pula bila ada seorang kontak yang mempunyai daya tahan
tubuh yang lemah maka bayi dianjurkan untuk menggunakan
IPV.
IX.
EFEK SAMPING IMUNISASI
Pada umumnya reaksi terhadap vaksin
dapat berupa reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan
terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain berupa
efek farmakologi, efek samping, interaksi obat, intoleransi, reaksi
idiosinkrasi dan reaksi alergi. Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin
dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi
vaksin, kesalahan prosedur, teknik pelaksanaan dan faktor kebetulan.
Efek samping imunisasi adalah semua
kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi.
Efek samping imunisasi polio memang jarang ditemukan. Setelah pemberian
vaksinasi OPV sebagian kecil penerima akan mengalami gejala pusing-pusing,
diare ringan dan sakit pada otot. Lebih jarang lagi, diperkirakan setiap 2,5
dosis OPV yang diberikan dapat mengalami kasus Paralitik Poliomielitis
(Vaccine-Associated Paralytic Poliomyelitis atau VAPP). VAPP merupakan kejadian
lumpuh layu akut (AFP) 4 - 40 hari setelah diberikan vaksin OPV dengan sekuele
neurologis susulan yang mirip dengan polio setelah 60 hari. Sementara itu,
kasus VAPP kontak terjadi ketika virus yang berasal dari vaksin OPV (VDPV)
diekskresikan dan menyebar kepada anak-anak yang tidak diimunisasi atau
anak-anak yang belum menerima OPV secara lengkap.
Efek samping imunisasi pada janin
belum pernah dilaporkan, namun OPV jangan diberikan pada ibu hamil empat bulan
pertama kecuali terdapat alasan mendesak misalnya bepergian ke daerah endemis
poliomielitis. Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin
inactivated dan virus hidup lainnya, tetapi tidak boleh diberikan bersama
vaksin tifoid oral. Bila BCG diberikan pada bayi, tidak perlu memperlambat
pemberian OPV, karena OPV memacu imunitas lokal dan pembentukan antibodi dengan
cara replikasi dalam usus.
Di dalam
vaksin polio OPV dan IPV mengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin,
polimisin, streptomisin) namun hal ini tidak merupakan kontra indikasi kecuali
pada anak yang mempunyai bakat hipersensitif yang berlebihan. Pascaimunisasi
pada pemberian OPV sebaiknya memperhatikan kontra indikasi secara cermat, penggunaan
vaksin tersebut.
X.
PEMBUATAN VAKSIN
Pembuatan
dilakukan dengan cara sistem biakan benih yang dipasase tidak lebih dari 3
subkultur, yang pada uji laboratorium dan uji klinis menunjukkan galur yang
sesuai sebagai berikut:
1. Masing-masing
tipe virus dibiakkan dalam biakan sel yang telah bebas dari cemaran
mikroorganisme asing. Media untuk pertumbuhan awal sel dapat ditambahkan serum
hewan, tetapi media untuk pemeliharaan biakan sel selama pengembangbiakan virus
tidak boleh mengandung protein. Media biakan sel dapat mengandung indikator pH
yang sesuai, seperti merah fenol, dan antibiotik yang sesuai dengan kadar
efektif terkecil.
2. Suspensi
virus dipanen, kemudian dilakukan uji identifikasi, sterilitas, dan bebas virus
asing.
3. Kumpulkan
virus yang telah memenuhi syarat dan saring melalui penyaring bakteri.
4. Terhadap
virus yang telah disaring, lakukan uji identifikasi, kemampuan tumbuh pada suhu
yang berbeda, dan penetapan konsentrasi virus dalam biakan sel.
5. Uji
neurovirulen dilakukan dengan penyuntikan secara intraspinal pada Macaca
irus (kera Cynomolgus) atau hewan sejenis yang peka. Vaksin uji
dan vaksin homotipik pembanding diuji secara bersamaan menggunakan kera yang
berasal dari satu kelompok karantina.
XI.
KINERJA VAKSIN
Bakteri,
virus dan kuman penyakit mengancam tubuh setiap harinya. Tetapi bila penyakit
yang disebabkan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh, maka tubuh kita akan
membentuk suatu sistem kekebalan, membuat protein yang disebut antibodi untuik
melawan mikroorganisme tersebut. Tujuan dari sistem kekebalan tubuh adalah
mencegah penyakit dengan menghancurkan serbuan dari luar atau membuatnya
menjadi tidak berbahaya.
Vaksin
merangsang sistem kekebalan tubuh. Untuk memahami bagaimana vaksin bekerja,
maka perlu diketahui juga bagaimana tubuh kita mendapatkan kekebalan.
Memahami
kekebalan tubuh bisa kebal terhadap bakteri, virus dan kuman dengan dua cara:
Dengan mendapat penyakit (kekebalan alami).
Dengan vaksin (kekebalan yang disebabkan oleh vaksin).
Baik itu kekebalan alami atau dari
vaksinasi, sekali anda mendapat kekebalan terhadap penyakit yang disebabkan
oleh mikroorganisme, anda akan lebih terlindungi dari penyakit tersebut.
Kekebalan alami berkembang setelah terekspos oleh organisme tertentu. Sistem
kekebalan akan bekerja sebagai pertahanan terhadap penyakit yang sama dari
virus atau bakteri tertentu.
Paparan terhadap penyerbu ini akan
merangsang pembentukan sel darah putih tertentu dalam tubuh yang disebut sel B.
Sel B memproduksi plasma sel, yang kemudian memproduksi antibodi yang didesain
spesifik untuk melawan kuman. Antibodi ini disirkulasi ke cairan tubuh. Bila
ada kuman yang sama masuk dalam tubuh di lain waktu, antibodi itu akan
mengenali dan akan menghancurkannya. Sekali tubuh kita memproduksi antibodi
tertentu, maka antibodi tersebut akan diproduksi bila diperlukan.
Disamping kerja sel B, sel darah putih
dan macrophages menghadapi dan memusnahkan penyerbu asing. Jika tubuh bertemu
dengan kuman yang belum pernah terekspos sebelumnya, informasi mengenai kuman
disampaikan ke sel darah putih yang disebut sel T pembantu. Sel ini membantu
produksi sel yang berjuang melawan infeksi lain.
Satu kali terekspos oleh virus atau bakteri tertentu, waktu berikutnya terekspos, antibodi dan sel T akan bekerja. Mereka dengan segera bereaksi terhadap organisme, menyerangnya sebelum penyakit berkembang. Sistem kekebalan bisa mengenali dan secara efektif bertempur melawan organisme yang berbeda.
Satu kali terekspos oleh virus atau bakteri tertentu, waktu berikutnya terekspos, antibodi dan sel T akan bekerja. Mereka dengan segera bereaksi terhadap organisme, menyerangnya sebelum penyakit berkembang. Sistem kekebalan bisa mengenali dan secara efektif bertempur melawan organisme yang berbeda.
Kekebalan selama vaksinasi yang
mengandung virus, bakteri atau organisme lain yang telah mati atau dilemahkan
disuntikkan ke dalam tubuh. Vaksin kemudian merangsang sistem kekebalan tubuh
untuk memproduksi antibodi untuk melawan organisme tersebut. Lain waktu saat
organisme tersebut kembali menyerang tubuh, antibodi dari sistem kekebalan akan
menyerang dan akan menghentikan infeksi.
Hasil kekebalan yang disebabkan oleh
vaksin didapat setelah menerima vaksin. Vaksin memicu kemampuan sistem
kekebalan berjuang melawan infeksi dengan tanpa kontak langsung dengan kuman
yang menghasilkan penyakit. Vaksin berisi kuman yang telah dimatikan atau
dilemahkan atau derivatifnya. Kalau diberikan kepada orang sehat, vaksin memicu
respon kekebalan tubuh. Vaksin memaksa tubuh berpikir bahwa sedang diserang
oleh organisme spesifik, dan sistem kekebalan bekerja untuk memusnahkan
penyerbu dan mencegahnya menginfeksi lagi.
Jika terekspos terhadap penyakit
saat telah divaksin, kuman yang menyerbu akan menghadapi antibodi. Kekebalan
anda berkembang mengikuti vaksinasi mirip kekebalan yang diperoleh dari infeksi
alami.
Beberapa dosis vaksin mungkin
diperlukan untuk jawaban kebal yang penuh. Beberapa orang gagal mendapatkan
kekebalan penuh saat dosis pertama vaksin tetapi memberi hasil pada dosis
lanjutan. Sebagai tambahan, kekebalan yang didapatkan dari beberapa vaksin,
seperti tetanus dan pertussis, tidak untuk seumur hidup. Karena respon
kekebalan mungkin berkurang dengan berjalannya waktu, mungkin perlu dosis
vaksin tambahan untuk memulihkan atau menambah kekebalan.
Tipe-tipe vaksin disiapkan dengan
beberapa cara yang berbeda. Untuk tiap tipe, tujuannya adalah sama, yaitu
merangsang sistem kekebalan tanpa menyebabkan penyakit.
·
Vaksin dilemahkan. Beberapa vaksin, seperti campak,
cacar dan cacar air (variscella), menggunakan virus hidup yang telah dilemahkan.
Vaksin tipe ini menghasilkan respon antibodi yang kuat, seringkali hanya perlu
satu kali pemakaian diperlukan untuk kekebalan seumur hidup.
·
Vaksin inaktifasi. Vaksin lain dibuat dengan cara
menggunakan bakteri atau virus yang sudah di inaktifasi. Vaksin polio dibuat
dengan cara ini. Vaksin ini umumnya lebih aman dari vaksin hidup karena
organisme penyebab penyakit tidak dapat bermutasi kembali menyebabkan penyakit
setelah organisme tersebut dimatikan.
·
Vaksin toksoid. Beberapa tipe bakteria menyebabkan
penyakit dengan memproduksi toksin yang menyerang pembuluh darah. Vaksin
toksoid, seperti pada difteri dan tetanus,
·
Vaksin aselular dan subunit. Vaksin aselular dan
subunit dibuat dengan menggunakan bagian-bagian dari virus atau bakteri. Vaksin
hepatitis dan Haemophilus influenzae tipe b dibuat dengan cara ini.
Saat ini, vaksin untuk hampir dua
lusin penyakit berbeda diizinkan untuk penggunaan di Amerika. Ada 12 vaksin
yang direkomendasikan untuk anak berumur dibawah 2 tahun. Menurut Pusat untuk
Kontrol Penyakit dan Pencegahan, usaha imunisasi yang tersebar luas sudah
merendahkan laju timbulnya beberapa penyakit gawat, termasuk diphtheria,
tetanus, campak dan polio sebanyak lebih dari 95 persen sejak awal abad ke-20.
Penyakit yang dapat membunuh atau
menyebabkan cacat permanen sebaliknya dapat dicegah dengan vaksin, seperti
kelumpuhan pada polio, kerusakan pendengaran pada radang selaput otak,
kerusakan hati pada hepatitis B, atau kerusakan otak (radang otak) pada campak.
Kekebalan dari perlindungan vaksin menawarkan perlindungan yang mirip dengan
bila diperoleh dari infeksi alami. Pada saat yang bersamaan, vaksin jarang
menyebabkan individu dalam resiko keadaan komplikasi serius akibat infeksi.
Beberapa
orang percaya bahwa banyak yang terjangkit saat mewabahnya suatu penyakit
adalah sebenarnya yang dulunya divaksinasi. Dan ada yang bilang bahwa kekebalan
dari vaksin tidak efektif. Benar bahwa vaksin tidak 100 persen melindungi.
Kebanyakan vaksin yang disuntikkan saat masa kecil efektif bagi 85% hingga 95% dari
penerima. Selama mewabahnya suatu penyakit, sejumlah orang yang pernah
divaksinasi memang akan ketularan penyakit. Tetapi, biasanya orang yang telah
divaksinasi biasanya sakitnya lebih tidak parah, sedangkan yang tidak
divaksinasi lebih dalam bahaya besar.
XII.
WADAH DAN PENYIMPANAN
Simpan pada
suhu yang tertera pada label kemasan (misalnya -25°C), mengingat sifat
stabilisator yang digunakan. Jika telah dicairkan, vaksin harus disimpan pada
suhu 2°-8°C dan digunakan dalam waktU 6 bulan. Jika disimpan pada suhu yang
lebih tinggi, vaksin harus segera digunakan dalam beberapa jam.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Chroni
E, Howard RS, Panayiotopoulos CP, Spencer GT. 1995. Multiple sclerosis
presenting as late functional deterioration after poliomyelitis. Postgrad Med
J. 71:52-4.
2. Graham
JM. 2004. Post-polio deterioration. Pract Neurol. 4:58-9.
3. Howard
RS. 2005. Poliomyelitis and the postpolio syndrome. BMJ. 330: 1314-1318.
4. Howard
RS, Davidson C. 2003. Long termventilation in neurogenic respiratory failure. J
Neurol Neurosurg Psychiatry. 74(suppl III):iii24-30.
5. Martyn
CN, Barker DJP, Osmond C. 1988. Motoneurone disease and postpoliomyelitis in
England and Wales. Lancet. i:1319-22.
6. Wilson
H, Kidd D, Howard RS, Williams AJ. 2000. Calf hypertrophy following paralytic
poliomyelitis Postgrad Med J. 76:179-81.
7. Windebank
AJ. Differential diagnosis and prognosis. 1995. In: Halstead LS, Grimby G.
Post-polio syndrome. Philadelphia: Henley and Belfus: 69-88.