DERMATITIS ATOPIK
I.
DEFINISI
Dermatitis atopik (DA) adalah
penyakit kulit reaksi inflamasi yang didasari oleh faktor herediter dan faktor
lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel,
kusta, skuama dan pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi,
atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.
Dermatitis atopik atau eksema adalah
peradangan kronik kulit yang kering dan gatal yang umumnya dimulai pada awal
masa kanak-kanak. Eksema dapat menyebabkan gatal yang tidak tertahankan,
peradangan, dan gangguan tidur. Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak.
Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya
akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan
sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus
mengalami eksema hingga dewasa.
Penyakit ini dinamakan dermatitis
atopik oleh karena kebanyakan penderitanya memberikan reaksi kulit yang
didasari oleh IgE dan mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rinitis
atau keduanya di kemudian hari yang dikenal sebagai allergic march.
Walaupun demikian, istilah dermatitis atopik tidak selalu memberikan arti bahwa
penyakit ini didasari oleh interaksi antigen dengan antibodi. Nama lain untuk
dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo Besnier, dan
neurodermatitis.
Diperkirakan angka kejadian di
masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak < 5 tahun sebesar 3,1% dan
prevalensi DA pada anak meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir.
Sangat mungkin peningkatan
prevalensi ini berasal dari faktor lingkungan, seperti bahan kimia
industri, makanan olahan, atau benda asing lainnya. Ada dugaan bahwa
peningkatan ini juga disebabkan perbaikan prosedur diagnosis dan pengumpulan
data.
II.
PATOGENESIS
Sampai
saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui,
demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis DA tidak dapat
ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut
dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal
sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara
imunologik dan nonimunologik.
·
Multifaktor DA mempunyai
penyebab multi faktorial antara lain faktor genetik, emosi, trauma, keringat,
imunologik
·
Respon Imun Sistemik Terdapat
IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada
darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi
Eosinophilia dan peningkatan IgE.
·
Imunopatologi Kulit Pada
DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA
maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh
darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset
CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+,
CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand
yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan
apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T
tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation
Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis
di kulit. Apoptosis keratinocyte diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang
berada di microenvironment
·
Respon imun kulit Sel-sel T
baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T
cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan
IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan
dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut
didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh
ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan
eosinofil.
·
Genetik Pengaruh gen
maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom
1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada
peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama
penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Resiko seorang kembar
monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86.
Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.
Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE
total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan
berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic
march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu
penyakit atopi.
Ekspresi
sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat
berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang
akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA
yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5,
GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan
INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap
antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi
terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita
dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio
limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan
akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang
berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin,
bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami
bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun
hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang
pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA.
Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro
inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan
kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema.
Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat
reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke
limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga
berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi.
Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA
antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).
Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak
berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan
menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang
ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan
rasa gatal.
III.
FAKTOR
FAKTOR PENCETUS
1. Makanan
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food
Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan
berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi
makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE
spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit
positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut
alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji
eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan
kepastiannya.
2. Alergen
hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang
dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau
lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah
(TDR), dimana pada pemeriksaan in vitro (RAST), 95% penderita DA mengandung IgE
spesifik positif terhadap TDR dibandingkan hanya 42% pada penderita asma di
Amerika Serikat. Perlu juga diperhatikan bahwa DA juga bisa diakibatkan oleh
alergen hirup lainnya seperti bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed
di negara-negara dengan 4 musim.
3. Infeksi
kulit
Penderita dengan DA mempunyai tendensi untuk disertai infeksi
kulit oleh kuman umumnya Staphylococcus aureus, virus dan jamur.
Stafilokokus dapat ditemukan pada 90% lesi penderita DA dan jumlah koloni bisa
mencapai 107 koloni/cm2 pada bagian lesi tersebut. Akibat
infeksi kuman Stafilokokus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai
superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya
melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita DA dan disertai infeksi harus diberikan
kombinasi antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid topikal.
IV.
MANIFESTASI KLINIS
Umumnya gejala DA timbul sebelum
bayi berumur 6 bulan, dan jarang terjadi di bawah usia 8 minggu. Dermatitis
atopik dapat menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap
bahkan meluas dan memberat sampai usia dewasa. Terdapat kesan bahwa makin lama
dan makin berat dermatitis yang diderita semasa bayi makin besar kemungkinan
dermatitis tersebut menetap sampai dewasa, sehingga perjalanan penyakit
dermatitis atopik sukar diramalkan.
Terdapat tiga bentuk klinis
dermatitis atopik, yaitu bentuk infantil, bentuk anak, dan bentuk dewasa.
- Bentuk infantil Secara
klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka
terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Bentuk ini berlangsung
sampai usia 2 tahun. Predileksi pada muka lebih sering pada bayi yang
masih muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul pada bayi sel sudah
merangkak. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan
papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi
sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok sel bayi gelisah dan rewel
dengan tidur yang terganggu. Pada sebagian penderita dapat disertai
infeksi bakteri maupun jamur.
- Bentuk anak Seringkali bentuk anak
merupakan lanjutan dari bentuk infantil, walaupun diantaranya terdapat
suatu periode remisi. Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis)
yang lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti,
poplitea, tangan, kaki dan periorbita.
- Bentuk dewasa DA bentuk dewasa terjadi pada
usia sekitar 20 tahun. Umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher,
badan bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis kronik dengan
gejala utama likenifikasi dan skuamasi.
Stigmata
pada dermatitis atopik Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang
terjadi pada DA, yaitu:
Ø ‘White dermatographism’ Goresan pada
kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti
dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15
menit berikutnya.
Ø Reaksi vaskular paradoksal Merupakan
adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA. Apabila ekstremitas
penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan
dan perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal.
Ø Lipatan telapak tangan Terdapat
pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan
merupakan tanda khas untuk DA.
Ø Garis Morgan atau Dennie Terdapat
lipatan ekstra di kulit bawah mata.
Ø Sindrom ‘buffed-nail’ Kuku
terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat gatal.
Ø ‘Allergic shiner’ Sering
dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan berulang
jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan peningkatan
timbunan melanin.
Ø Hiperpigmentasi Terdapat daerah hiperpigmentasi
akibat garukan terus menerus.
Ø Kulit kering Kulit
penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan berpapul folikular
hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah kelenjar sebasea
berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan sebum, sel pengeluaran air
dan xerosis, terutama pada musim panas.
Ø ‘Delayed blanch’ Penyuntikan
asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya keringat dan eritema. Pada
penderita atopi akan terjadi eritema ringan dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau
peningkatan permeabilitas kapiler.
Ø Keringat berlebihan Penderita DA
cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus bertambah.
Ø Gatal dan garukan berlebihan Penyuntikan
bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal menimbulkan gatal selama
5-10 menit, sedangkan pada penderita DA gatal dapat bertahan selama 45 menit.
V.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Telah dilaporkan pelbagai hasil laboratorium
penderita DA, walaupun demikian sulit untuk menghubungkan hasil laboratorium
ini dengan efek yang ada.
·
Imunoglobulin
IgG, IgM, IgA dan IgD biasanya normal atau sedikit meningkat pada
penderita DA. Tujuh persen penderita DA mempunyai kadar IgA serum yang rendah,
dan defisiensi IgA transien banyak dilaporkan pada usia 3-6 bulan. Kadar IgE
meningkat pada 80-90% penderita DA dan lebih tinggi lagi bila sel asma dan
rinitis alergika. Tinggi rendahnya kadar IgE ini erat hubungannya dengan berat ringannya
penyakit, dan tinggi rendahnya kadar IgE tidak mengalami fluktuasi baik pada
saat eksaserbasi, remisi, atau yang sedang mendapat pengobatan prednison atau
azatioprin. Kadar IgE ini akan menjadi normal 6-12 bulan setelah terjadi
remisi.
·
Leukosit
·
Limfosit
Jumlah
limfosit absolut penderita alergi dalam batas normal, baik pada asma, rinitis
alergilk, maupun pada DA Walaupun demikian pada beberapa penderita DA berat.
dapat disertai menurunnya jumlah sel T dan meningkatnya sel B.
·
Eosinofil
Kadar
eosinofil pada penderita DA sering meningkat. Peningkatan ini seiring dengan
meningkatnya IgE, tetapi tidak seiring dengan beratnya penyakit.
·
Leukosit
polimorfonuklear (PMN) Dari hasil uji nitro blue tetrazolium (NBT) ternyata
jumlah PMN biasanya dalam batas normal.
·
Komplemen
Pada
penderita DA kadar komplemen biasanya normal atau sedikit meningkat.
·
Bakteriologi
Kulit
penderita DA aktif biasanya mengandung bakteri patogen, seperti Staphylococcus
aureus. walaupun tanpa gejala klinis infeksi.
·
Uji kulit dan provokasi. Diagnosis DA
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. Untuk mencari penyebab timbulnya DA
harus disertai anamnesis yang teliti dan bila perlu dengan uji kulit serta uji
eliminasi dan provokasi. Korelasi uji kulit hanya baik hasilnya bila
penyebabnya alergen hirup. Untuk makanan dianjurkan dengan uji eliminasi dan
provokasi. Reaksi pustula terhadap 5% nikel sulfat yang diberikan dengan uji
tempel dianggap karakteristik untuk DA oleh beberapa pengamat. Patogenesis
reaksi pustula nikel fosfat ini belum diketahui walaupun data menunjukkan
reaksi iritan primer.
VI.
KOMPLIKASI
Pada anak penderita DA, 75% akan
disertai penyakit alergi lain di kemudian hari. Penderita DA mempunyai
kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo,
folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
Infeksi virus umumnya disebabkan
oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau
eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya
terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita.
lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota
keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk
krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal.
Penderita DA juga mempunyai
kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus.
VII.
PENGOBATAN
Dermatitis atopik
umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Sebagian penderita
mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya usia. Penderita
dermatitis atopik membutuhkan terapi yang integral dan sistemik, meliputi hidrasi
kulit, terapi topikal, identifikasi dan eliminasi faktor penyebab dan pencetus
dan bila perlu terapi sistemik.
Penatalaksanaan dasar diberikan
untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa
perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars,
antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus
kekambuhan.
Perawatan
Kulit Hidrasi
adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan
kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik.
untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak
menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi
penetrasi air. Sabun dengan moisturizers
disarankan Setelah mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut.
Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah mandi karena penetrasi obat
jauh lebih baik. Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-oil moisturizers sediaan lactic acid.
Pengobatan
topikal adalah untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Mengatasi
kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan dengan mandi
memakai sabun lunak tanpa pewangi. Meskipun mandi dikatakan dapat memperburuk
kekeringan kulit, namun berguna untuk mencegah terjadi infeksi sekunder. Jangan
menggunakan sabun yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau
pembersih yang mempunyai pH 7,0. Pemberian pelembab kulit penting untuk menjaga
hidrasi antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam minyak, atau urea 10%
dalam krim. Untuk mengatasi peradangan dapat diberikan krim kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati dan
tidak digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah teratasi maka
secepatnya pengobatan dialihkan pada penggunaan kortikosteroid golongan lemah
atau krim pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison
1%.
Dengan pengobatan topikal yang baik
dapat dicegah penggunaan pengobatan sistemik. Karena perjalanan penyakit DA
adalah kronik dan residif, maka untuk pemakaian kortikosteroid topikal maupun
sistemik untuk jangka panjang sebaiknya diamati efek samping yang mungkin
terjadi. Bila dengan kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk menghilangkan
rasa gatal dapat ditambahkan krim yang mengandung mentol, fenol, lidokain, atau
asam salisilat. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka
dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik
Kortikosteroid topikal.
Kortikosteroid topikal mempunyai
efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu
diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah segera setelah mandi
dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi digunakan tidak lebih dari
2 kali sehari. Bentuk salep untuk kulit lembab bisa menyebabkan folikulitis, bentuk
krim toleransinya cukup baik, bentuk lotion
dan spray untuk daerah yang
berambut. Pemilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah.
Efek samping yang harus diperhatikan
adalah: atropi, depigmentasi, steroid
acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis;
bila kasus membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan diganti dengan yang
potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan terapi
difokuskan pada hidrasi.
Antihistamin.
Untuk mengurangi rasa gatal dapat
diberikan antihistamin (H1) seperti difenhidramin atau terfenadin, atau
antihistamin nonklasik lain. Kombinasi antihistamin H1 dengan H2 dapat menolong
pada kasus tertentu. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan kloralhidrat
dapat pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium kromoglikat untuk
menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang memuaskan pada 50%
penderita.
Kortikosteroid
oral.
Penggunaan kortikosteroid oral
sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan diberikan dalam waktu
singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari.
Merupakan terapi standar, tetapi
belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal pada DA
bisa tak terkait dengan histamin.
Tars
Tars mempunyai efek anti-inflamasi
dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada manajemen
penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan
dermatitis kontak.
Antibiotik sistemik
Antibiotik sistemik dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang luas dengan infeksi sekunder.
Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan
terkadang ampisilin Infeksi di curigai bila ada krusta yang luas,
folikulits, pioderma dan furunkulosis.
S. aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering
dari flare akut. Bila diduga
ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan sebagai
terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi
pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin,
teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten
adalah klindamisin. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap
Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap
eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap
sefalosporin Imunoterapi dengan ekstrak inhalan umumnya tidak menolong untuk
mengatasi DA pada anak.
Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi
Sabun dan baju yang bersifat iritatif
dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat juga
mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi
alergen makanan, binatang dan debu rumah.
Selain manajemen dasar dilaksanakan
pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus dilaksanakan.
- Kortikosteroid sistemik. Efek
perbaikannya cepat, tetapi flare
yang parah sering terjadi pada
steroid withdrawal. Bila tetap harus diberikan, tapering dan
perawatan intensif kulit harus dijalankan.
- Thymopentin. Untuk
dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10
mg/ dosis 1 kali/hari selama 6 minggu, atau 3 kali/minggu selama 12
minggu.
- Interferon-gamma. Dosis
yang digunakan g /m2/ hari subkutan diberikan selama 12
minggu.ug-100uantara 50
- Siklosporin A. Pemberian
per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula diberikan secara topikal
dalam bentuk salep atau gel 5%.
- Tacrolimus. Digunakan
takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali sehari. Obat ini umumnya
menunjukan perbaikan pada luasnya lesi dan rasa gatal pada minggu pertama
pengobatan. Tacrolimus tidak mempengaruhi fibroblasts sehingga tidak
menyebabkan atropi kulit.
- Pimecrolimus Pemakaian
pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar 35 %.
- Gammaglobulin Bekerja sebagai antitoksin,
antiinflamasi dan anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena (IVIG) adalah terapi yang sangat
mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus khusus.
- Probiotik Lactobacillus
rhamnosus GG 1 kapsul (109) kuman/dosis dalam 2
kali/hari memperbaiki kondisi kulit setelah 2 bulan.
REFERENSI
Burn, Tony dan Graham brown, Robin.
2003. Dermatologi : Catatan Kuliah Edisi 8.
Jakarta : Erlangga.
Sularsito, Sri Adi dan Djuanda,
Suria. 2008. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar